Jakarta, Praktik pernikahan dini masih sering ditemukan di negara-negara miskin atau berkembang. Padahal menurut sebuah studi baru dari AS, negara-negara di mana para remaja putrinya menikah sebelum berusia 18 tahun berisiko memiliki tingkat kematian ibu dan anak yang tinggi.
Dapat dikatakan ini merupakan studi pertama yang memaparkan tentang analisis ekologi terkait pernikahan dini dan kematian ibu. Studi ini memperlihatkan bahwa penurunan angka pernikahan dini sebanyak 10 persen saja dapat dikaitkan dengan penurunan angka tingkat kematian ibu di sebuah negara sebesar 70 persen.
"Hingga kini masih terdokumentasi bahwa negara-negara dengan angka pernikahan dini yang tinggi secara signifikan lebih cenderung memperlihatkan tingginya angka kematian ibu dan bayi serta kurangnya pemanfaatan layanan kesehatan untuk ibu," tandas salah satu peneliti Anita Raj, PhD, profesor di Department of Medicine, University of California, San Diego School of Medicine.
"Meski pernikahan dini angkanya tak begitu tinggi di AS, namun temuan ini masih ada relevansinya dengan yang terjadi di negara maju karena membuktikan adanya kehamilan dini pada remaja, terlepas dari status menikah atau tidak. Padahal melahirkan di usia yang masih muda meningkatkan risiko kematian ibu dan anak," tambahnya.
Remaja yang menjalani pernikahan dini didefinisikan sebagai pernikahan gadis-gadis yang masih berusia 17 tahun ke bawah. Meski praktiknya mulai menurun pada beberapa tahun belakangan, pernikahan dini masih relatif sering terjadi di wilayah-wilayah seperti Asia Selatan dan Afrika sub-Sahara dimana 70 persen penduduk wanitanya telah menikah sejak masih di bawah umur. Secara global, PBB memperkirakan lebih dari 60 juta wanita dan gadis remaja terjebak dalam pernikahan dini hingga badan dunia ini mengkategorisasi pernikahan dini sebagai pelanggaran terhadap HAM dan kesehatan.
Raj dan peneliti lainnya, Ulrike Boehmer, PhD dari Boston University School of Public Health mengatakan konteks sosial tertentu juga meningkatkan kecenderungan pernikahan dini. Diantaranya lingkungan tempat tinggal di pedesaan yang msikin dan akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan yang rendah. Terkadang hal ini diperburuk dengan konflik regional dan instabilitas ekonomi.
"Lagipula pernikahan dini seringkali dipandang sebagai salah satu sarana perlindungan dari instabilitas ekonomi dan perkosaan karena gadis dan wanita yang belum menikah dianggap memunculkan persepsi adanya ketersediaan seksual. Ditambah lagi dengan adanya kemiskinan dan konflik-konflik yang ada dapat mempertajam keinginan orangtua agar anak-anak gadisnya menikah di usia dini," terang Raj seperti dilansir Medindia, Jumat (17/5/2013).
Tak hanya kematian ibu dan anak, pengantin muda juga lebih cenderung mengalami ketidakadilan sosial seperti penurunan status dan berkurangnya akses pendidikan maupun pekerjaan hingga ke pelecehan yang berbasis gender. Efeknya pun sampai melebar ke aspek kesehatan personal karena wanita yang menikah ketika masih di bawah umur lebih cenderung berisiko tinggi mengalami komplikasi ketika melahirkan, dengan bayi yang mempunyai berat lahir yang rendah dan malnutrisi anak.
Peneliti berharap studi ini dapat memberikan dukungan dan advokasi yang lebih besar untuk mengurangi angka pernikahan dini, terutama pada gadis remaja.
"Kini negara-negara seperti Yaman dan Saudi Arabia tengah mempertimbangkan untuk mengubah kebijakan yang memperbolehkan pernikahan pada gadis-gadis di bawah umur. Setidaknya temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan untuk membatasi dan mengurangi praktik pernikahan dini bisa jadi cara efektif dalam memperbaiki tingkat kesehatan ibu dan anak," pungkas Raj.
Studi ini baru saja dipublikasikan dalam jurnal Violence Against Women.
http://health.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar