Selasa, 23 April 2013

Waspada, Bayi yang Sering Kolik Rentan Kena Migrain Saat Beranjak Dewasa


Jakarta, Saat usia bayi menginjak 2-3 minggu biasanya mereka akan sering menangis lebih dari 3 jam di malam hari selama beberapa minggu. Kondisi yang disebut dengan kolik ini sebenarnya tak memberikan dampak apapun terhadap kesehatan bayi, tapi sebuah studi baru menemukan bahwa bayi yang sering kolik lebih rentan terserang migrain saat beranjak remaja atau anak-anak.

Kesimpulan studi yang dipublikasikan dalam JAMA ini diperoleh setelah peneliti melakukan dua studi. Pada studi pertama peneliti mengamati 208 anak ketika usianya mencapai 6-18 tahun yang dibawa ke UGD tiga rumah sakit di Eropa dan didiagnosis menderita migrain antara bulan April 2012 dan Juni 2012.

Kemudian ke-208 anak tersebut dibandingkan dengan 471 anak lain yang masuk ke UGD yang sama akibat trauma minor dalam periode yang sama. Orangtua partisipan juga diminta mengisi sebuah kuesioner untuk mencari tahu berbagai hal terkait riwayat kolik si anak ketika masih bayi.

Pada studi kedua, peneliti mengamati 120 anak yang menderita sakit kepala menegang (tension-type headaches) untuk mengetahui sakit kepala seperti apa yang dikaitkan dengan kolik pada bayi.

Hasilnya, 72,6 persen anak penderita migrain sering mengalami kolik saat masih bayi, sedangkan anak penderita migrain yang tidak mengalami kolik hanyalah sebanyak 26,5 persen. Bahkan secara keseluruhan peneliti dapat menyimpulkan bahwa anak yang sering kolik saat masih bayi 6,6 kali lebih sering mengalami migrain dibandingkan anak yang tak pernah kolik saat masih bayi.

Selain itu, bayi yang sering kolik akan lebih cenderung mengalami migrain tanpa aura saat beranjak dewasa, namun lain halnya dengan anak yang menderita migrain dengan aura. Sedangkan sakit kepala menegang (tension-type headaches) dilaporkan tak memiliki kaitan apapun dengan kolik.

"Kaitan antara kebiasaan kolik bayi dengan migrain sebenarnya dapat didasarkan pada mekanisme patogenetik umum yang menyebabkan munculnya migrain tanpa aura maupun migrain dengan aura," ungkap peneliti seperti dilansir cbsnews, Kamis (18/4/2013).

"Tapi kami menemukan bahwa perbedaan karakteristik migrain pada anak yang punya riwayat kolik dengan anak yang tidak memilikinya hanyalah anak yang punya riwayat kolik terlihat lebih sering merasakan nyeri berdenyut-denyut di kepalanya dibandingkan anak yang punya migrain tapi tak sering kolik saat bayi," tambahnya.

Menanggapi studi ini, Dr. Phyllis Zee, profesor neurologi dan direktur pusat gangguan tidur di the Feinberg School of Medicine, Northwestern University, Chicago menyatakan studi ini hanyalah menemukan kaitan yang kuat, bukannya hubungan kausalitas.

Menurut Dr. Zee bisa jadi kolik dan migrain diakibatkan oleh gangguan siklus tidur pada anak dan pengaruhnya terhadap produksi hormon tidur atau melatonin, padahal hormon ini berperan penting dalam mengatur jam biologis anak dan membuat anak bisa tertidur.

"Jadi kalau akar permasalahannya seperti itu berarti orangtua harus memperhatikan siklus tidur-bangun tidur pada anak-anaknya. Hal ini juga termasuk tidak memapari anak dengan terlalu banyak cahaya di malam hari, sering mengajak bayi keluar rumah di siang hari untuk mendapatkan paparan cahaya yang cukup, serta menyiapkan lingkungan (kamar) yang kondusif untuk tidur yaitu gelap," sarannya.


http://health.detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar